
Yaitu Siman Hutahaean, oknum pendeta yang menggembala gereja HKBP
(Huria Kristen Batak Protestan serta merupakan dosen di Sekolah Tinggi
Theologi (STT) Biblevrouw HKBP yang beralamat di Partahan Bosi Hutapea,
Lagauboti, Toba Samosir Sumatera Utara
Kejadian memalukan tersebut terbongkar, usai korban serta banyaknya
rekan mahasiswi lainnya mengadu pada Direktur sekolah Bibelvrouw Pendeta
Manarias Sinaga MTh. Para korban membenarkan, Pendeta Siman Hutahaean,
menjalankan pelecehan seksual secara meditasi serta magis, menghipnotis
para korban, sehingga mahasiswi yang dihipnotis tersebut tak mampu
menentang serta cuma mengikuti perintah si pendeta yang melampiaskan
syahwat iblisnya dengan cara leluasa.
Tiap kali menjalankan aksi amoralnya tersebut, sang pendeta cabul
memperingatkan dengan keras mahasiswi yang “digarap,” supaya tak
membocorkan tindakan tersebut kepada siapapun. Jika membocorkan aibnya,
maka dianggap sebagai kesombongan rohani. Belasan mahasiswi korban
pelecehan dosennya itu, terpaksa memendam derita dan kisah pilunya dalam
waktu yang lama, sejak awal Januari 2010 lalu. Tidak tahan dengan
trauma yang dialaminya, akhirnya mereka melaporkannya kepada direktur
sekolah, tempat mereka belajar ilmu teologi Kristen.
Laporan para korban pelecehan seksual pendeta tersebut
ditindaklanjuti oleh Direktur STT Biblevrouw esok harinya. Digelarlah
rapat kilat di hadapan seluruh dosen, termasuk menghadapkan pelaku
dengan 19 korban di aula sekolah Kristen HKBP itu.
Rapat kilat membuahkan hasil, Direktur segera mengambil tindakan
tegas dengan menonaktifkan Pendeta Siman Hutahaean sebagai pengajar STT
Biblevrouw. Pada saat itu juga, Direktur melaporkan kejadian ini ke
Ephorus dan Sekjen di Pearaja-Tarutung, meminta agar pelaku meninggalkan
kampus. Malam itu juga pelaku pelecehan seksual itu keluar dari kampus
dengan membawa keluarganya pergi.
Selang lima hari (25/1/2010), Ephorus dan Sekjen membentuk tim
“pencari fakta” yang diketuai oleh Pendeta Jamilin Sirait.
Diberitahukan, Tim ini akan bekerja selama dua minggu, terhitung sejak
25 Januari 2010. Tapi janji tinggal janji, tim yang sudah dibentuk
tersebut tak kunjung datang ke kampus untuk mencari fakta.
Menurut informasi dari para mahasiswi dan dosen, telah terjadi
intimidasi dari seorang Praeses bernama Pendeta Armada Sitorus terhadap
para mahasiswi. Pendeta itu mengancam akan memecat mereka dari
Biblevrouw, jika Pendeta Siman Hutahaean (pelaku) dipecat pihak kampus.
Keesokan harinya, seluruh mahasiswa meninggalkan kampus, dan bergerak
untuk mencari perlindungan hukum.
Merasa tak ditanggapi oleh Praeses, seluruh mahasiswi bergerak ke
Pematangsiantar untuk mencari dukungan. Harapannya para Preases di
Pearaja Tarutung segera menuntut pelaku agar dipecat dan dicabut
tohonannya (status pendetanya) dari HKBP. Tapi suara mereka tak
digubris. Selanjutnya, para mahasiswi melaporkan kejadian ini ke Polres
Tobasa agar pelaku ditangkap. Polisi kemudian membawa korban mahasiswi
yang paling parah untuk divisum di Rumah Sakit Balige.
Rupanya, pengaduan mahasiwi ke polisi membuat gerah Pendeta Jamilin
Sirait, selaku Pimpinan Pusat HKBP di Pearaja Tarutung, seraya
mengatakan, kalau seluruh mahasiswa meninggalkan kampus Biblevorouw,
maka lebih baik seluruh mahasiswi dipecat saja semuanya dan dibuat lagi
penerimaan mahasiswa baru. Pernyataan Pdt Jamilin itu tak sepenuhnya
didukung oleh sejumlah dosen di kampus tersebut.
Seorang dosen wanita berdiri membela mahasiswi. “Tidak akan ada
seorang Jemaat HKBP dan gereja lainnya yang mau mengizinkan putrinya
masuk sekolah Biblevrouw, jika pimpinan HKBP tidak bertindak adil dengan
memecat semua mahasiswi, dan justru melindungi si pelaku,” ungkapnya.
Mahasiswi masih berharap Pimpinan Pusat HKBP di Pearaja Tarutung
menyelesaikan masalah ini. Tapi lagi-lagi, protes tetap tak digubris
oleh pimpinan HKBP. Mereka tidak mau menerima mahasiswi yang datang. Itu
sama saja mencemarkan citra HKBP. Seorang pimpinan pusat HKBP bukannya
mencari solusi, melainkan telah meletupkan api kekecewaan mahasiswi dan
jemaat HKB lainnya yang bersimpati.
Setelah mengadu ke Polres Tobasa, dibuatlah pemeriksaan BAP.
Selanjutnya, pihak polisi melayangkan surat panggilan ke Ephorus HKBP di
Pearaja agar si pelaku menyerahkan diri ke Polres Tobasa.
Setelah didesak, Pendeta Jamilin Sirait dan kawan-kawannya datang ke
kampus Biblevrouw untuk bertemu dengan seluruh korban dan mahasiswi.
Namun kedatangan mereka tidak memberikan solusi. Kedatangan Pendeta
Jamilin malah memperkeruh suasana karena sikapnya yang tidak memihak
korban, tapi memihak pada pelaku pelecehan. Mahasiswa pun dianggap
bodoh. Lalu mahasiswi menyoraki pendeta itu. Mahasiswa kembali meminta
kepastian, agar pendeta distrik Toba segera menggelar rapat untuk
memproses pemecatan si pelaku dari HKBP dan pencabutan tohonannya
sebagai pendeta. Lagi-lagi aspirasi itu tidak ditanggapi.
Pdt Jamilin cs kembali bertemu mahasiswi yang menjadi korban untuk
kedua kalinya. Lagi-lagi tidak ada sanski sesuai hukum gereja HKBP buat
si pelaku. Tak ayal membuat seluruh mahasiswi geram dengan mengecam tim
pencari fakta yang datang. Ada kesan, sengaja mengulur-ulur waktu, dan
tidak ada niat baik pimpinan HKBP untuk memecat-mencabut tohonan
kependetaan si pelaku dari HKBP. Ada kesan, pimpinan HKBP hendak
menutup-nutupi kasus ini.
Meski pelaku sudah datang menyerahkan diri ke Polres Tobasa, dan
ditahan di Rutan Balige. Namun, bagi mahasiswi , seluruh dosen dan
direktur Kampus Biblevrouw, pelaku tidak cukup hanya ditangkap dan
penjarakan, tapi juga dipecat dan dicabut tohonannya dari HKBP sesuai
proses Hukum Penggembalaan dan Siasat Gereja yang berlaku di HKBP.
Jemaat HKBP Resah
Kabarnya, sekarang banyak Jemaat HKBP mulai berkomentar: “Kenapa jika
jemaat salah sedikit saja, langsung dikenakan RPP (Ruhut Parmahanion
dohot Paminsangon) alias dipecat dari HKBP dan dikeluarkan? Sedangkan
jika pendeta yang melakukan pelecehan seksual tidak dikenakan RPP dan
tidak dipecat dari HKBP. Apakah RPP HKBP hanya berlaku untuk jemaat
saja?” tanya mereka.
“Bila begini terus menerus, bukan tidak mungkin, 10 tahun lagi, HKBP
akan ditutup, karena semua jemaat tidak akan percaya lagi kepada para
pendeta yang hanya berkhotbah, tetapi tidak melakukan apa yang
dikhotbahkannya. Jangan salahkan jemaat jika meninggalkan HKBP karena
kebejatan moral pendetanya, apalagi jika pelaku pelecehan selalu
mendapatkan pembelaan dan tidak dicabut tohonan kependetaannya,” ungkap
beberapa orang jemaat HKBP yang kecewa.
Kabar yang berkembang, pendeta resort mengintimidasi keluarga korban,
agar menarik pengaduannya dari polisi. Diam-diam ada yang menyebarkan
berita bohong, bahwa 19 korban sudah menarik pengaduan kepada polisi.
Namun, setelah dikonfirmasi ke Polres Tobasa, ternyata berita tersebut
tidak benar, dan tidak seorang korban pun yang menarik pengaduannya dari
Polres. Intimidasi itu berlangsung berkali-kali. Tim pencari fakta
dengan cara halus meminta para korban agar mengubah BAP yang sudah
dibuat di kepolisian.
Perjuangan belum selesai, mahasiswi dan beberapa pendeta dan jemaat
HKBP dari berbagai kota melakukan aksi damai ke kantor distrik IV Tobasa
untuk mendesak Praeses setempat segera melaksanakan Rapat Pendeta
Distrik IV Toba untuk kembali membicarakan dan menimbang si pelaku
pelecehan seksual. Lagi-lagi permintaan mereka tidak digubris.
Pada tanggal 2 Maret 2010, kepolisian dari Polres Tobasa, akhirnya
menyerahkan secara resmi kasus pelecehan seksual tersebut kepada pihak
Kejaksaan Negeri Balige. Persidangan bersifat tertutup karena kasusnya
menyangkut perbuatan amoral. Pihak mahasiswi juga sudah melaporkan kasus
tersebut kepada Komnas HAM dan Komnas Perempuan di Jakarta. Hingga
memasuki sidang ke-15 (29 September 2010), Ketua Majelis Hakim PN Balige
kemudian menjatuhkan vonis kepada Pendeta Siman Hutahaean dengan
hukuman 5 tahun penjara.
Kendati pelaku sudah dijatuhi hukuman setimpal, seluruh mahasiswa dan
beberapa orang dosen yang tinggal di kompleks STT Biblebrouw, acapkali
mendapat teror berupa 2-3 orang lebih laki-laki bertopeng datang ke
asrama sekolah setiap malamnya dengan membawa parang panjang dan
kelewang. Juga ada lemparan batu ke rumah-rumah dosen dan kantor sekolah
tersebut. Teror juga dilakukan dalam bentuk SMS dengan mengancam
korban. Mahasiswi dan dosen yang diteror sudah melaporkannya ke Kapolsek
Lagoubuti.
Setelah dilacak SMS terror tersebut, ternyata datang dari Pendeta
Herlan Hutahaean (seorang pendeta yang bekerja sebagai anggota KPU di
Tobasa). Teror terus berlanjut. Ephoris HKBP Pendeta Dr. Bonar
Napitupulu tidak mau menandatangani Pengumuman Penerimaaan Mahasiswa
Baru sekolah tersebut. Bahkan Ephorus juga membuat Surat Pernyataan
melarang penerimaan mahasiswa baru di sekolah itu.
Lebih parah lagi, pada saat wisuda, tidak seorang pun yang diutus
oleh Pimpinan HKBP menghadiri acara wisuda mahasiswa STT Biblevrouw.
Konyolnya lagi, ephorus HKBP tidak mau menandatangani ijazah seluruh
mahasiswi Biblevrouw yang telah diwisuda. Dalih tidak mau menandatangani
ijazah mahasiswi, hanya karena mereka pernah demo ke Pearaja-Tarutung
dan PN Balige. Komnas HAM berjanji akan mengatasi masalah ijazah yang
tidak mau ditandatangi oleh ephorus HKBP.
Mengadu domba dan membenturkan sesama pendeta HKBP rupanya menjadi
hal biasa dan menjadi trik sendiri. Konflik internal dengan sesama
jemaat HKBP pun tak pernah berakhir damai. Ternyata gereja HKBP adalah
gereja yang mempersubur dan memelihara perbuatan-perbuatan asusila.
Terbukti, pelaku pelecehan seksual selalu dilindungi dan dibela
mati-matian oleh para pimpinan HKBP. Bahkan, terhadap jemaatnya sendiri,
tidak mampu bersikap adil, bahkan justru membela pelaku asusila.
Sungguh sangat memalukan HKBP saat ini di mata masyarakat dan di mata dunia. Jemaat HKBP berharap ada reformasi di tubuh HKBP.
Bagaimana dengan kasus HKBP Ciketing? Bukan tidak mungkin, konflik
itu diciptakan oleh Pendeta HKBP itu sendiri. Dalam istilah ilmu
kriminologi disebut Victiminasi: membunuh sesamanya untuk mendapat
simpati dari dalam negeri maupun dunia internasional. Wallahu a’lam.
[Desastian/suaranews]