Selasa, 24 Desember 2013

Pendeta Siman Hutahaean, Pendeta Cabul HKBP Yang Memperkosa Jemaat Dan Mahasiswinya

image Suaranews – Pendeta yang satu ini memang bejat. Semacam tokoh panutan jemaat serta mahasiswi, bukannya menjalankan pembinaan, justru mengobral tindakan bejat pencabulan seksual atas 19 jemaatnya. Untuk jemaatnya sendiri tega berbuat amoral, bagaimana beserta orang lain?
Yaitu Siman Hutahaean, oknum pendeta yang menggembala  gereja HKBP (Huria Kristen Batak Protestan serta merupakan dosen di Sekolah Tinggi Theologi (STT) Biblevrouw HKBP yang beralamat di Partahan Bosi Hutapea, Lagauboti, Toba Samosir Sumatera Utara
Kejadian memalukan tersebut terbongkar, usai korban serta banyaknya rekan mahasiswi lainnya mengadu pada Direktur sekolah Bibelvrouw Pendeta Manarias Sinaga MTh. Para korban membenarkan, Pendeta Siman Hutahaean, menjalankan pelecehan seksual secara meditasi serta magis, menghipnotis para korban, sehingga mahasiswi yang dihipnotis tersebut tak mampu menentang serta cuma mengikuti perintah si pendeta yang melampiaskan syahwat iblisnya dengan cara leluasa.
Tiap kali menjalankan aksi amoralnya tersebut, sang pendeta cabul memperingatkan dengan keras mahasiswi yang “digarap,” supaya tak membocorkan tindakan tersebut kepada siapapun. Jika membocorkan aibnya, maka dianggap sebagai kesombongan rohani. Belasan mahasiswi korban pelecehan dosennya itu, terpaksa memendam derita dan kisah pilunya dalam waktu yang lama, sejak awal Januari 2010 lalu. Tidak tahan dengan trauma yang dialaminya, akhirnya mereka melaporkannya kepada direktur sekolah, tempat mereka belajar ilmu teologi Kristen.
Laporan para korban pelecehan seksual pendeta tersebut ditindaklanjuti oleh Direktur STT Biblevrouw esok harinya. Digelarlah rapat kilat di hadapan seluruh dosen, termasuk menghadapkan pelaku dengan 19 korban di aula sekolah Kristen HKBP itu.
Rapat kilat membuahkan hasil, Direktur segera mengambil tindakan tegas dengan menonaktifkan Pendeta Siman Hutahaean sebagai pengajar STT Biblevrouw. Pada saat itu juga, Direktur melaporkan kejadian ini ke Ephorus dan Sekjen di Pearaja-Tarutung, meminta agar pelaku meninggalkan kampus. Malam itu juga pelaku pelecehan seksual itu keluar dari kampus dengan membawa keluarganya pergi.
Selang lima hari (25/1/2010), Ephorus dan Sekjen membentuk tim “pencari fakta” yang diketuai oleh Pendeta Jamilin Sirait. Diberitahukan, Tim ini akan bekerja selama dua minggu, terhitung sejak 25 Januari 2010. Tapi janji tinggal janji, tim yang sudah dibentuk tersebut tak kunjung datang ke kampus untuk mencari fakta.
Menurut informasi dari para mahasiswi dan dosen, telah terjadi intimidasi dari seorang Praeses bernama Pendeta Armada Sitorus terhadap para mahasiswi. Pendeta itu mengancam akan memecat mereka dari Biblevrouw, jika Pendeta Siman Hutahaean (pelaku) dipecat pihak kampus. Keesokan harinya, seluruh mahasiswa meninggalkan kampus, dan bergerak untuk mencari perlindungan hukum.
Merasa tak ditanggapi oleh Praeses, seluruh mahasiswi bergerak ke Pematangsiantar untuk mencari dukungan. Harapannya para Preases di Pearaja Tarutung segera menuntut pelaku agar dipecat dan dicabut tohonannya (status pendetanya) dari HKBP. Tapi suara mereka tak digubris. Selanjutnya, para mahasiswi melaporkan kejadian ini ke Polres Tobasa agar pelaku ditangkap. Polisi kemudian membawa korban mahasiswi yang paling parah untuk divisum di Rumah Sakit Balige.
Rupanya, pengaduan mahasiwi ke polisi membuat gerah Pendeta Jamilin Sirait, selaku  Pimpinan Pusat HKBP di Pearaja Tarutung, seraya mengatakan, kalau seluruh mahasiswa meninggalkan kampus Biblevorouw, maka lebih baik seluruh mahasiswi dipecat saja semuanya dan dibuat lagi penerimaan mahasiswa baru. Pernyataan Pdt Jamilin itu tak sepenuhnya didukung oleh sejumlah dosen di kampus tersebut.
Seorang dosen wanita berdiri membela mahasiswi. “Tidak akan ada seorang Jemaat HKBP dan gereja lainnya yang mau mengizinkan putrinya masuk sekolah Biblevrouw, jika pimpinan HKBP tidak bertindak adil dengan memecat semua mahasiswi, dan justru melindungi si pelaku,” ungkapnya.
Mahasiswi masih berharap Pimpinan Pusat HKBP di Pearaja Tarutung menyelesaikan masalah ini. Tapi lagi-lagi, protes tetap tak digubris oleh pimpinan HKBP. Mereka tidak mau menerima mahasiswi yang datang. Itu sama saja mencemarkan citra HKBP. Seorang pimpinan pusat HKBP bukannya mencari solusi, melainkan telah meletupkan api kekecewaan mahasiswi dan jemaat HKB lainnya yang bersimpati.
Setelah mengadu ke Polres Tobasa, dibuatlah pemeriksaan BAP. Selanjutnya, pihak polisi melayangkan surat panggilan ke Ephorus HKBP di Pearaja agar si pelaku menyerahkan diri ke Polres Tobasa.
Setelah didesak, Pendeta Jamilin Sirait dan kawan-kawannya datang ke kampus Biblevrouw untuk bertemu dengan seluruh korban dan mahasiswi. Namun kedatangan mereka tidak memberikan solusi. Kedatangan  Pendeta Jamilin malah memperkeruh suasana karena sikapnya yang tidak memihak korban, tapi memihak pada pelaku pelecehan. Mahasiswa pun dianggap bodoh. Lalu mahasiswi menyoraki pendeta itu. Mahasiswa kembali meminta kepastian, agar pendeta distrik Toba segera menggelar rapat untuk memproses pemecatan si pelaku dari HKBP dan pencabutan tohonannya sebagai pendeta. Lagi-lagi aspirasi itu tidak ditanggapi.
Pdt Jamilin cs kembali bertemu mahasiswi yang menjadi korban untuk kedua kalinya. Lagi-lagi tidak ada sanski sesuai hukum gereja HKBP buat si pelaku. Tak ayal membuat seluruh mahasiswi geram dengan mengecam tim pencari fakta yang datang. Ada kesan, sengaja mengulur-ulur waktu, dan tidak ada niat baik pimpinan HKBP untuk memecat-mencabut tohonan kependetaan si pelaku dari HKBP. Ada kesan, pimpinan HKBP hendak menutup-nutupi kasus ini.
Meski pelaku sudah datang menyerahkan diri ke Polres Tobasa, dan ditahan di Rutan Balige. Namun, bagi mahasiswi , seluruh dosen dan direktur Kampus Biblevrouw, pelaku tidak cukup hanya ditangkap dan penjarakan, tapi juga dipecat dan dicabut tohonannya dari HKBP sesuai proses Hukum Penggembalaan  dan  Siasat Gereja yang berlaku di HKBP.
Jemaat HKBP Resah
Kabarnya, sekarang banyak Jemaat HKBP mulai berkomentar: “Kenapa jika jemaat salah sedikit saja, langsung dikenakan RPP (Ruhut Parmahanion dohot Paminsangon) alias dipecat dari HKBP dan dikeluarkan? Sedangkan jika pendeta yang melakukan pelecehan seksual tidak dikenakan RPP dan tidak dipecat dari HKBP. Apakah RPP HKBP hanya berlaku untuk jemaat saja?” tanya mereka.
“Bila begini terus menerus, bukan tidak mungkin, 10 tahun lagi, HKBP akan ditutup, karena semua jemaat tidak akan percaya lagi kepada para pendeta yang hanya berkhotbah, tetapi tidak melakukan apa yang dikhotbahkannya. Jangan salahkan jemaat jika meninggalkan HKBP karena kebejatan moral pendetanya, apalagi jika pelaku pelecehan selalu mendapatkan pembelaan dan tidak dicabut tohonan kependetaannya,” ungkap beberapa orang jemaat HKBP yang kecewa.
Kabar yang berkembang, pendeta resort mengintimidasi keluarga korban, agar menarik pengaduannya dari polisi. Diam-diam ada yang menyebarkan berita bohong, bahwa 19 korban sudah menarik pengaduan kepada polisi. Namun, setelah dikonfirmasi ke Polres Tobasa, ternyata berita tersebut tidak benar, dan tidak seorang korban pun yang menarik pengaduannya dari Polres. Intimidasi itu berlangsung berkali-kali. Tim pencari fakta dengan cara halus meminta para korban agar mengubah BAP yang sudah dibuat di kepolisian.
Perjuangan belum selesai, mahasiswi dan beberapa pendeta dan jemaat HKBP dari berbagai kota melakukan aksi damai ke kantor distrik IV Tobasa untuk mendesak Praeses setempat segera melaksanakan Rapat Pendeta Distrik IV Toba untuk kembali membicarakan dan menimbang si pelaku pelecehan seksual. Lagi-lagi permintaan mereka tidak digubris.
Pada tanggal 2 Maret 2010, kepolisian dari Polres Tobasa, akhirnya menyerahkan secara resmi kasus pelecehan seksual tersebut kepada pihak Kejaksaan Negeri Balige. Persidangan bersifat tertutup karena kasusnya menyangkut perbuatan amoral. Pihak mahasiswi juga sudah melaporkan kasus tersebut kepada Komnas HAM dan Komnas Perempuan di Jakarta. Hingga memasuki sidang ke-15 (29 September 2010), Ketua Majelis Hakim PN Balige kemudian menjatuhkan vonis kepada Pendeta Siman Hutahaean dengan hukuman 5 tahun penjara.
Kendati pelaku sudah dijatuhi hukuman setimpal, seluruh mahasiswa dan beberapa orang dosen yang tinggal di kompleks STT Biblebrouw, acapkali mendapat teror berupa 2-3 orang lebih laki-laki bertopeng datang ke asrama sekolah setiap malamnya dengan membawa parang panjang dan kelewang. Juga ada lemparan batu ke rumah-rumah dosen dan kantor sekolah tersebut. Teror juga dilakukan dalam bentuk SMS dengan mengancam korban. Mahasiswi dan dosen yang diteror sudah melaporkannya ke Kapolsek Lagoubuti.
Setelah dilacak SMS terror tersebut, ternyata datang dari Pendeta Herlan Hutahaean (seorang pendeta yang bekerja sebagai anggota KPU di Tobasa). Teror terus berlanjut. Ephoris HKBP Pendeta Dr. Bonar Napitupulu tidak mau menandatangani Pengumuman Penerimaaan Mahasiswa Baru sekolah tersebut. Bahkan Ephorus juga membuat Surat Pernyataan melarang penerimaan mahasiswa baru di sekolah itu.
Lebih parah lagi, pada saat wisuda, tidak seorang pun yang diutus oleh Pimpinan HKBP menghadiri acara wisuda mahasiswa STT Biblevrouw. Konyolnya lagi, ephorus HKBP tidak mau menandatangani ijazah seluruh mahasiswi Biblevrouw yang telah diwisuda. Dalih tidak mau menandatangani ijazah mahasiswi, hanya karena mereka pernah demo ke Pearaja-Tarutung dan PN Balige. Komnas HAM berjanji akan mengatasi masalah ijazah yang tidak mau ditandatangi oleh ephorus HKBP.
Mengadu domba  dan membenturkan sesama pendeta HKBP rupanya menjadi hal biasa dan menjadi trik sendiri. Konflik internal dengan sesama jemaat HKBP pun tak pernah berakhir damai. Ternyata gereja HKBP adalah gereja yang mempersubur dan memelihara perbuatan-perbuatan asusila. Terbukti, pelaku pelecehan seksual selalu dilindungi dan dibela mati-matian oleh para pimpinan HKBP. Bahkan, terhadap jemaatnya sendiri, tidak mampu bersikap adil, bahkan justru membela pelaku asusila.
Sungguh sangat memalukan HKBP saat ini di mata masyarakat dan di mata dunia. Jemaat HKBP berharap ada reformasi di tubuh HKBP.
Bagaimana dengan kasus HKBP Ciketing? Bukan tidak mungkin, konflik itu diciptakan oleh Pendeta HKBP itu sendiri. Dalam istilah ilmu kriminologi disebut Victiminasi: membunuh sesamanya untuk mendapat simpati dari dalam negeri maupun dunia internasional. Wallahu a’lam. [Desastian/suaranews]